Senin, 16 September 2013

Manajemen Pemasaran

Pengertian Pemasaran
Pemasaran adalah suatu proses dan manajeral yang membuat individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain atau segala kegiatan yang menyangkut penyampaian produk atau jasa mulai dari produsen sampai konsumen.
Ada beberapa definisi mengenai pemasaran diantaranya adalah :
a.    Philip Kotler (Marketing) pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran.
b.    Menurut Philip Kotler dan Amstrong pemasaran adalah sebagai suatu proses sosial dan managerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain.
c.    Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, promosi dan mendistribusikan barang- barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan.
d.    Menurut W Stanton pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan pembeli maupun pembeli potensial.

PERANAN PEMASARAN
Peranan pemasaran saat ini tidak hanya menyampaikan produk atau jasa hingga tangan konsumen tetapi juga bagaimana produk atau jasa tersebut dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan menghasilkan laba. Sasaran dari pemasaran adalah menarik pelanggan baru dengan menjanjikan nilai superior, menetapkan harga menarik, mendistribusikan produk dengan mudah, mempromosikan secara efektif serta mempertahankan pelanggan yang sudah ada dengan tetap memegang prisip kepuasan pelanggan.

Berubahnya Praktik Pemasaran dengan Internet

(internet marketing)
Munculnya internet telah sangat meningkatkan kemampuan perusahaan menjalankan bisnis dengan lebih cepat, lebih akurat, mencakup kisaran waktu dan ruang yang lebih luas, dengan biaya yang lebih sedikit, dan dengan kemampuan menyesuaikan tawaran dengan kebutuhan pelanggan dan membuat tawaran menjadi lebih pribadi. Banyak sekali perusahaan yang telah menciptakan situs web untuk menginformasikan dan mempromosikan produk dan layanan mereka.
Pers populer telah memberikan perhatian yang besar pada situs web konsumen. Pada tahun 2000, lebih dari 106 juta orang Amerika masuk online, dengan 80 persen mencari informasi, 73 persen mencari produk atau jasa sebelum membelinya, 68 persen mencari informasi perjalanan, dan 65 persen mencari informasi tentang film, buku, dan kegiatan waktu luang.
Dari data tersebut, terlihat internet memang tempat menjadi pemasaran produk dan jasa yang paling menjanjikan saat ini. Karena jangkauan yang luas, ke seluruh dunia. Selain itu juga karena pasarnya yang tertarget dan sistem otomatisasinya, membuat pemasaran jadi lebih efektif dan efisien dari segi biaya, waktu dan tenaga. Sebenarnya masih banyak lagi kelebihan-kelebihan dalam memasarkan suatu bisnis melalui internet.

Manajemen Pemasaran
Manajemen pemasaran berasal dari dua kata yaitu manajemen dan pemasaran. Menurut Kotler dan Armstrong pemasaran adalah analisis, perencanaan, implementasi, dan pengendalian dari program-program yang dirancang untuk menciptakan, membangun, dan memelihara pertukaran yang menguntungkan dengan pembeli sasaran untuk mencapai tujuan perusahaan. Sedangakan manajemen adalah proses perencanaan (Planning), pengorganisasian (organizing) penggerakan (Actuating) dan pengawasan.
Manajemen Pemasaran adalah salah satu kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan perusahaannya, untuk berkembang, dan untuk mendapatkan laba. Proses pemasaran itu dimulai jauh sejak sebelum barang-barang diproduksi, dan tidak berakhir dengan penjualan. Kegiatan pemasaran perusahaan harus juga memberikan kepuasan kepada konsumen jika menginginkan usahanya berjalan terus, atau konsumen mempunyai pandangan yang lebih baik terhadap perusahaan (Dharmmesta & Handoko, 1982).
Secara definisi, Manajemen Pemasaran adalah penganalisaan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program yang bertujuan menimbulkan pertukaran dengan pasar yang dituju dengan maksud untuk mencapai tujuan perusahaan (Kotler, 1980).
Perusahaan yang sudah mulai mengenal bahwa pemasaran merupakan faktor penting untuk mencapai sukses usahanya, akan mengetahui adanya cara dan falsafah baru yang terlibat di dalamnya. Cara dan falsafah baru ini disebut "Konsep Pemasaran".

Konsep Pemasaran
Konsep-konsep inti pemasaran meluputi: kebutuhan, keinginan, permintaan, produksi, utilitas, nilai dan kepuasan; pertukaran, transaksi dan hubungan pasar, pemasaran dan pasar. Kita dapat membedakan antara kebutuhan, keinginan dan permintaan. Kebutuhan adalah suatu keadaan dirasakannya ketiadaan kepuasan dasar tertentu. Keinginan adalah kehendak yang kuat akan pemuas yang spesifik terhadap kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendalam. Sedangkan Permintaan adalah keinginan akan produk yang spesifik yang didukung dengan kemampuan dan kesediaan untuk membelinya.
Konsep pemasaran mengatakan bahwa kunci untuk mencapai tujuan organisasi terdiri dari penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran serta memberikan kepuasaan yang diharapkan secara lebih efektif dan efisien dibandingkan para pesaing.
Konsep pemasaran yang telah diungkapkan dengan berbagai cara:
1. Temukan keinginan pasar dan penuhilah.
2. Buatlah apa yang dapat dijual dan jangan berusaha menjual apa yang dapat dibuat.
3. Cintailah pelanggan, bukan produk anda.
4. Lakukanlah menurut cara anda (Burger king)
5. Andalah yang menentukan (United Airlines)
6. Melakukan segalanya dalam batas kemampuan untuk menghargai uang pelanggan yang sarat dengan nilai, mutu dan kepuasan (JC. Penney).

Dalam pemasaran terdapat enam konsep yang merupakan dasar pelaksanaan kegiatan pemasaran suatu organisasi yaitu : konsep produksi, konsep produk, konsep penjualan, konsep pemasaran, konsep pemasaran sosial, dan konsep pemasaran global.
1.    Konsep produksi
Konsep produksi berpendapat bahwa konsumen akan menyukai produk yang tersedia dimana-mana dan harganya murah. Konsep ini berorientasi pada produksi dengan mengerahkan segenap upaya untuk mencapai efesiensi produk tinggi dan distribusi yang luas. Disini tugas manajemen adalah memproduksi barang sebanyak mungkin, karena konsumen dianggap akan menerima produk yang tersedia secara luas dengan daya beli mereka.

2.    Konsep produk
Konsep produk mengatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang menawarkan mutu, performansi dan ciri-ciri yang terbaik. Tugas manajemen disini adalah membuat produk berkualitas, karena konsumen dianggap menyukai produk berkualitas tinggi dalam penampilan dengan ciri – ciri terbaik.

3.    Konsep penjualan
Konsep penjualan berpendapat bahwa konsumen, dengan dibiarkan begitu saja, organisasi harus melaksanakan upaya penjualan dan promosi yang agresif.

4.    Konsep pemasaran
Konsep pemasaran mengatakan bahwa kunsi untuk mencapai tujuan organisasi terdiri dari penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran serta memberikan kepuasan yang diharapkan secara lebih efektif dan efisien dibandingkan para pesaing.

5.    Konsep pemasaran sosial
Konsep pemasaran sosial berpendapat bahwa tugas organisasi adalah menentukan kebutuhan, keinginan dan kepentingan pasar sasaran serta memberikan kepuasan yang diharapkan dengan cara yang lebih efektif dan efisien daripasda para pesaing dengan tetap melestarikan atau meningkatkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat.

6.    Konsep Pemasaran Global
Pada konsep pemasaran global ini, manajer eksekutif berupaya memahami semua faktor- faktor lingkungan yang mempengaruhi pemasaran melalui manajemen strategis yang mantap. tujuan akhirnya adalah berupaya untuk memenuhi keinginan semua pihak yang terlibat dalam perusahaan.

Konsep Pemasaran Inti
1.    Pasar sasaran dan segmentasi
2.    Tempat pasar, ruang pasar, dan metamarket
3.    Pemasar dan calon pelanggan
4.    Kebutuhan, keinginan, dan permintaan
5.    Produk, tawaran, dan merek
6.    Nilai dan kepuasan
7.    Pertukaran dan transaksi
8.    Relasional dan jaringan kerja
9.    Saluran pemasaran
10.    Rantai pasokan
11.    Persaingan
12.    Lingkungan pemasaran
13.    Program pemasaran

Strategi Pemasaran
Hellriegel D &Slocum JW mengemukakan 2 jenis strategi pemasaran, yaitu :
1.    Market penetration strategy, yang berupaya untuk meningkatkan pemasaran pada pasar yang sekarang ada melalui produk yang sekarang telah ada pula. Kegiatan yang dilakukan meliputi upaya meningkatkan jumlah pembelian dari produk, mencoba menarik konsumen yang sekarang menggunakan produk dari kompetitor/pesaing atau malahan sekaligus membeli kompetitor tersebut.

2.    Market development strategy yaitu upaya mencari pasar baru dari produk yang sudah ada. Tiga kegiatan utama mencari pasar baru ini adalah menemukan pasar secara geografis (contoh : buka cabang di daerah lain), menemukan target market baru (contoh : video yang tadinya untuk presentasi ilmiah kemudian dipasarkan untuk hiburan dalam rumah tangga) serta menemukan penggunaan baru dari produk yang ada (misalnya mobil niaga diubah menjadi mobil keluarga).
Fungsi manajemen pemasaran

Fungsi manajemen pemasaran meliputi riset konsumen, pengembangan produk, komunikasi-promosi, distribusi, penetapan harga dan pemberian service. Semua kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui, melayani, memenuhi dan memuaskan kebutuhan konsumen.


ARTI  FUNGSI  MANAJEMEN  PEMASARAN
Manajemen pemasaran adalah suatu usaha untuk merencanakan, mengimplementasikan( yang terdiri dari kegiatan mengorganisaikan, mengarahkan, mengkoordinir ) serta mengawasi atau mengendalikan kegiatan pemasaran dalam suatu organisasi agar tercapai tujuan organisasi secara efesien dan efektif.  Di dalam fungsi manajemen pemasaran ada kegiatan menganalisis yaitu analisis yang dilakukan untuk mengetahui pasar dan lingkungan pemasarannya, sehingga dapat diperoleh seberapa besar peluang untuk merebut pasar dan seberapa besar

Sumber :
http://www.manajemenn.web.id/2011/04/fungsi-manajemen-pemasaran.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_pemasaran
http://majidbsz.wordpress.com/2008/06/30/pengertian-konsep-definisi-pemasaran/
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=fungsi%20manajemen%20pemasaran&source=web&cd=7&ved=0CEYQFjAG&url=http%3A%2F%2Fshinta.lecture.ub.ac.id%2Ffiles%2F2009%2F02%2Fbab-1.doc&ei=M04KT7fnHYiyrAeMpr3aDw&usg=AFQjCNH6OhE6u0u5-t644Bss9kGSUdtlVw&cad=rja

Perencanaan Pendidikan

Definisi Perencanaan Pendidikan
Dari berbagai pendapat atau definisi yang dikemukakan oleh para pakar manajemen, antara lain :
a.    Menurut, Prof. Dr. Yusuf Enoch
Perencanaan Pendidikan, adalah suatu proses yang yang mempersiapkan seperangkat alternative keputusan bagi kegiatan masa depan yang diarahkan kepadanpencapaian tujuan dengan usaha yang optimal dan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada di bidang ekonomi, sosial budaya serta menyeluruh suatu Negara.

b.    Beeby, C.E.
Perencanaan Pendidikan adalah suatu usaha melihat ke masa depan ke masa depan dalam hal menentukan kebijaksanaan prioritas, dan biaya pendidikan yang mempertimbangkan kenyataan kegiatan yang ada dalam bidang ekonomi, social, dan politik untuk mengembangkan potensi system pendidikan nasioanal memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik yang dilayani oleh system tersebut.

c.    Menurut Guruge (1972)
Perencanaan Pendidikan adalah proses mempersiapkan kegiatan di masa depan dalam bidang pembangunan pendidikan.

d.    Menurut Albert Waterson (Don Adam 1975)
Perencanaan Pendidikan adala investasi pendidikan yang dapat dijalankan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan lain yang di dasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya serta keuntungan sosial.

e.    Menurut Coombs (1982)
Perencanaan pendidikan suatu penerapan yang rasional dianalisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakat.

f.    Menurut Y. Dror (1975)
Perencanaan Pendidikan adalah suatu proses mempersiapkan seperangkat keputusan untuk kegiatan-kegiatan di masa depan yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan cara-cara optimal untuk pembangunan ekonomi dan social secara menyeluruh dari suatu Negara.
Jadi, definisi perencanaan pendidikan apabila disimpulkan dari beberapa pendapat tersebut, adalah suatu proses intelektual yang berkesinambungan dalam menganalisis, merumuskan, dan menimbang serta memutuskan dengan keputusan yang diambil harus mempunyai konsistensi (taat asas) internal yang berhubungan secara sistematis dengan keputusan-keputusan lain, baik dalam bidang-bidang itu sendiri maupun dalam bidang-bidang lain dalam pembangunan, dan tidak ada batas waktu untuk satu jenis kegiatan, serta tidak harus selalu satu kegiatan mendahului dan didahului oleh kegiatan lain.
Secara konsepsional, bahwa perencanaan pendidikan itu sangat ditentukan oleh cara, sifat, dan proses pengambilan keputusan, sehingga nampaknya dalam hal ini terdapat banyak komponen yang ikut memproses di dalamnya. Adapun komponen-komponen yang ikut serta dalam proses ini adalah :
1.    Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil keputusan dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam bidang pendidikan.
2.    Masalah strategi adalah termasuk penanganan kebijakan (policy) secara operasional yang akan mewarnai proses pelaksanaan dari perencanaan pendidikan. Maka ketepatan pelaksanaan dari perencanaan pendidikan.

Dalam penentuan kebijakan sampai kepada palaksanaan perencanaan pendidikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : siapa yang memegang kekuasaan, siapa yang menentukan keputusan, dan faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Terutama dalam hal pemegang kekuasaan sebagai sumber lahirnya keputusan, perlu memperoleh perhatian, misalnya mengenai system kenegaraan yang merupakan bentuk dan system manajemennya, bagaimana dan siapa atau kepada siapa dibebankan tugas-tugas yang terkandung dalam kebijakan itu. Juga masalah bobot u ntuk jaminan dapat terlaksananya perencanaan pendidikan. Hal ini dapat diketahui melalui output atau hasil system dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu sendiri, yaitu dokumen rencana pendidikan.
Dari beberapa rumusan tentang perencanaan pendidikan tadi dapat dimaklumi bahwa masalah yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan suatu konsep keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Dengan demikian, perencanaan pendidikan dalam pelaksanaan tidak dapat diukur dan dinilai secara cepat, tapi memerlukan waktu yang cukup lama, khususnya dalam kegiatan atau bidang pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut kepentingan nasional.

SEJARAH PERENCANAAN PENDIDIKAN
Konsep dasar perencanaan pendidikan telah dikenal pada 25 abad yang lalu, yaitu sejak bangsa Sparta mengembangkan sistem pendidikan yang ditujukan untuk membantu manusia Sparta di bidang militer, sosial dan ekonomi. Plato dalam bukunya, Republic menyatakan bahwa perencanaan sekolah bertujuan untuk melayani masyarakat.
Pada abad ke-18 ditemukan tulisan yang berkenaan dengan perencanaan pendidikan yang berjudul Perencanaan Universitas di Rusia karya Diderot. Selanjutnya, pada abad ke-19 sudah terdapat beberapa perencanaan pembangunan sekolah dan perencanaan pendidikan guru.
Setelah perang dunia ke I, pada tahun 1923, Rusia dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun I merupakan Negara pertama yang menerapkan konsep perencanaan pendidikan, kemudian diikuti Prancis (1929), Amerika Serikat (1933), Swiss (1941), dan Puerto Rico pada tahun 1941.

Teori Perencanaan Pendidikan
Menurut Hudson dalam Tanner dalam Maswarita (2010), teori perencanaan meliputi, antara lain: synoptic, incremental, transactive, advocacy, dan radikal. Selanjutnya di kembangkan oleh tanner (1981) dengan nama teori SITAR sebagai penggabungan dari taksonomi Hudson.
1.    Teori Synoptic
Disebut juga system planning, rational system approach, rasional comprehensive planning. Menggunakan model berfikir system dalam perencanaan, sehingga objek perencanaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat, dengan satu tujuan yang disbebut visi. Langkah-langkah dalam perencanaan ini meliputi :
a.    pengenalan masalah,
b.    mengestimasi ruang lingkup problem
c.    mengklasifikasi kemungkinan penyelesaian,
d.    menginvestigasi problem,
e.    memprediksi alternative,
f.    mengevaluasi kemajuan atas penyelesaian spesifik.

Didasarkan pada kemampuan institusi dan kinerja personalnya. Bersifat desentralisasi dan tidak cocok untuk jangka panjang. Jadi perencanaan ini menekankan perencanaan dalam jangka pendek saja. Yang dimaksud dengan desentralisasi pada teori ini adalah si perencana dalam merencanakan objek tertentu dalam lembaga pendidikan, selalu mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan.

2.    Teori transactive
Menekankan pada harkat individu yang menjunjung tinggi kepentingan pribadi dan bersifat desentralisasi, suatu desentralisasi yang transactive yaitu berkembang dari individu ke individu secara keseluruhan. Ini berarti penganutnya juga menekankan pengembangan individu dalam kemampuan mengadakan perencanaan.

3.    Teori advocacy
Menekankan hal-hal yang bersifat umum, perbedaan individu dan daerah diabaikan. Dasar perencanaan tidak bertitik tolak dari  pengamatan secara empiris, tetapi atas dasar argumentasi yang rasional, logis dan bernilai advocacy (mempertahankan dengan argumentasi).
Kebaikan teori ini adalah untuk kepentingan umum secara nasional. Karena ia meningkatkan kerja sama secara nasional, toleransi, kemanusiaan, perlindungan terhadap minoritas, menekankan hak sama, dan meningkatkan kesejahteraan umum. Perencanaan yang memakai teori ini tepat dilaksanakan oleh pemerintah/ atau badan pusat.

4.    Teori radikal
Teori ini menekankan pentingnya kebebasan lembaga atau organisasi lokal untuk melakukan perencanaan sendiri, dengan maksud agar dapat dengan cepat mengubah keadaan lembaga supaya tepat dengan kebutuhan.
Perencanaan ini bersifat desentralisasi dengan partisipasi maksimum dari individu dan minimum dari pemerintah pusat / manajer tertinggilah yang dapat dipandang perencanaan yang benar. Partisipasi disini juga mengacu kepada pentingnya kerja sama antar personalia. Dengan kata lain teori radikal menginginkan agar lembaga pendidikan dapat mandiri menangani lembaganya. Begitu pula pendidikan daerah dapat mandiri menangani pendidikannya.

5.    Teori SITAR
Merupakan gabungan kelima teori diatas sehingga disebut juga complementary planning process. Teori ini menggabungkan kelebihan dari teori diatas sehingga lebih lengkap. Karena teori ini memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat atau lembaga tempat perencanaan itu akan diaplikasikan, maka teori ini menjadi SITARS yaitu S terakhir adalah menunjuk huruf awal dari teori situational. Berarti teori baru ini di samping mengombinasikan teori-teori yang sudah ada penggabungan itu sendiri ada dasarnya ialah menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lembaga pendidikan dan masyarakat. Jadi dapat kita simpulkan bahwa teori-teori diatas mempunyai persamaan dan pebedaannya.
Persamaannya:
1.    Mempunyai tujuan yang sama yaitu pemecahan masalah
2.    Mempunyai obyek perencanaan yang sama yaitu manusia dan lingkungan sekitarnya.
3.    Mempunyai beberapa persyaratan data, keahlian, metode, dan mempunyai konsistensi internal walaupun dalam penggunaannya terdapat perbedaan penitikberatan.
4.    Mempertimbangkan dan menggunakan sumberdaya yang ada dalam pencapaian tujuan

Sedangkan Perbedaannya adalah :
1.    Perencanaan synoptic lebih mempunyai pendekatan komprehensif dalam pemecahan masalah dibandingkan perencanaan yang lain, dengan lebih mengedepankan aspek-aspek metodologi, data dan sangat memuja angka atau dapat dikatakan komprehensif rasional. Hal ini yang sangat minim digunakan dalam 4 pendekatan perencanaan yang lain.
2.    Perencanaan incremental lebih mempertimbangkan peran lembaga pemerintah dan sangat bertentangan dengan perencanaan advokasi yang cenderung anti kemapanan dan perencanaan radikal yang juga cenderung revolusioner.
3.    Perencanaan transactive mengedepankan faktor – faktor perseorangan / individu melalui proses tatap muka dalam salah satu metode yang digunakan, perencanaan ini kurang komprehensif dan sangat parsial dan kurang sejalan dengan perencanaan Synoptic dan Incremental yang lebih komprehensif.
4.    Perencanaan advocacy cenderung menggunakan pendekatan hukum dan obyek yang mereka ambil dalam perencanaan adalah golongan yang lemah. Perencanaan ini bersifat sosialis dengan lebih mengedepankan konsep kesamaan dan hal keadilan sosial.
5.    Perencanaan Radikal seakan – akan tanpa metode dalam memecahkan masalah dan muncul dengan tiba-tiba (spontan) dan hal ini sangat kontradiktif dengan pendekatan incremental dan synoptic yang memepertimbangkan aturan – aturan yang ada baik akademis/metodologis dan lembaga pemerintahan yang ada.

Pendekatan Social Demand
1.    Pengertian pendekatan Social Demand
Menurut Vembrianto (1985:46) “Pendekatan kebutuhan sosial atau social demand adalah suatu pendekatan dalam perencanaan pendidikan yang didasarkan atas tuntutan atau kebutuhan sosial akan pendidikan”.
Pendekatan sosial demand atau kebutuhan sosial atau tuntutan sosial adalah suatu istilah yang kabur dan mengcaukan(jarang digunakan oleh pendidik) dan dapat diartikan bermacam-macam. “Arti yang paling umum digunakan adalah kumpulan tuntuntan yang umum untuk memperoleh pendidikan, yakni jumlah dari tuntutan individu akan pendidikan di suatu tempat, pada suatu waktu tertentu, di dalam suatu budaya politik dan ekonomi tertentu”. (Coombs, 1982:33)
Sedangkan menurut A. W. Guruge dalam Udin S (2005:234) “Pendekatan kebutuhan sosial adalah pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan-tekanan untuk memasukkan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada pemenuhan keinginan-keinginan murid dan orangtuanya secara bebas”.
Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut dengan pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan pendidikan dasar, pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf), dan pemberian layanan pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Oleh karena itu, pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya dilaksanakan pada negara yang baru merdeka dengan kondisi masyarakat yang masih terbelakang kondisi pendidikan dan sosial ekonominya.
Menurut Timan (2004:25) terdapat beberapa kritik utama yang ditujukan pada pendekatan sosial demand dalam perencanaan pendidikan, antara lain:
a.    Pendekatan ini tidak memikirkan tentang berapa sumber-sumber biaya yang tersedia untuk pendidikan.
b.    Dalam pendekatan ini tidak diingat adanya sifat dan pola tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia perekonomian dan akan berlebih-lebihan menghasilkan tenaga skerja dalam satu bidang sedangkan yang lainnya sangat kekurangan.
c.    Pendekatan ini cenderung memberikan stimulasi demand yang berlebihan, understimate dalam pembiayaan, dan mengarahkan pembagian sumber yang sangat kecil.

Menurut Davis dalam Effendi (2000:24) Social demand diaplikasikan pada tiga bentuk perencanaan yang berbeda, bentuk-bentuk tersebut antara lain adalah:
1.    Bila yang ditargetkan adalah pendidikan dasar, biasanya dinyatakan dalam term-term demografis, misalnya semua anak yang berumur 7-12 th mendapatkan pendidikan dasar.
2.    Bila rencana mentargetkan pada tujuan nasional yang ditunjang oleh nilai-nilai etis sosial, misalnya semua warga Negara berhak atas pendidikan dasar.
3.    Bila proyeksi rencana didasarkan pada analisis kebutuhan yang disamakan untuk semua tingkat dan jenis pendidikan.

2.    Kelebihan pendekatan Social Demand
Ada beberapa kelebihan dalam penggunaan pendekatan kebutuhan sosial dalam perencanaan pendidikan. Di antara sisi positif dari pendekatan ini antara lain adalah pendekatan ini lebih cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau negara yang baru merdeka dengan kondisi kebutuhan sosial, khususnya layanan pendidikan masih sangat rendah atau masih banyak yang buta huruf. Selain itu pendekatan ini akan lebih cepat dalam memberikan pemerataan layanan pendidikan dasar yang dibutuhkan pada warga masyarakat, karena keterbelakangan di bidang pendidikan akibat penjajahan, sehingga layanan pendidikan yang diberikan langsung bersentuhan dengan kebutuhan sosial yang mendasar yang dirasakan oleh masyarakat.

3.    Kekurangan pendekatan Social Demand
Selain kelebihan, pendekatan kebutuhan sosial ini juga memiliki beberapa kekurangan. Menurut Arifin (2010) kekurangan pendekatan sosial ini antara lain adalah:
a.    Pendekatan ini cenderung hanya untuk menjawab persoalan yang dibutuhkan masyarakat pada saat itu, yaitu pemenuhan kebutuhan atau tuntutan layanan pendidikan dasar sebesar-besarnya, sehingga mengabaikan pertimbangan efisiensi pembiayaan pendidikan.
b.    Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek kualitas (jumlah yang terlayani sebanyak-banyaknya), sehingga kurang memperhatikan kualitas dan efektivitas pendidikan. Oleh karena itu pendekatan ini terkesan lebih boros.
c.    Pendekatan ini mengabaikan ciri-ciri dan pola kebutuhan man power yang diperlukan di sektor kehidupan ekonomi, dengan demikian hasil atau output pendidikan cenderung kurang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
d.    Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek pemerataan pendidikan (dimensi kuantitatif) dan kurang mementingkan aspek kualitatif. Di samping itu pendekatan ini kurang memberikan jawaban yang tepat dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan, karena lebih menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan sosial, sementara aspek atau bidang kehidupan yang lain kurang diperhatikan.

Ada tiga kritik yang penting sehubungan dengan pendekatan tuntutan sosial ini, khususnya yang dilancarkan oleh para ahli ekonomi; yaitu sebagai berikut (Coombs, 1987:35).
1.    Pendekatan ini mengabaikan masalah besarnya sumber alokasi nasional dan menganggap bahwa tidak menjadi masalah berapa banyak sumber itu mengalir untuk pendidikan yang seharusnya dapat dipakai dengan baik untuk pembangunan nasional secara keseluruhan.
2.    Pendekatan ini mengabaikan sifat dan macam tenaga kerja yang dihasilkan yang diperlukan oleh sektor ekonomi, jenis tertentu terlalu banyak dan jenis lain berkurang
3.    Pendekatan ini cenderung terlalu merangsang timbulnya tuntutan masyarakat untuk memperoleh pendidikan, meremehkan biaya, dan memeratakan sumber dana yang terbatas untuk terlalu banyak murid yang mengakibatkan menurunnya kualitas dan efektifitas sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi sesuatu bentuk penanaman modal yang diragukan.

Maswarita (2010) Pendekatan model kebutuhan sosial ini didasarkan atas keperluan masyarakat saat ini dan menitik beratkan pada pemerataan pendidikan seperti wajib belajar (wajar 9 tahun). Kekurangannya pendekatan model ini adalah:
1.    mengabaikan alokasi dalam skala nasional,
2.    mengabaikan kebutuhan perencanaan ketenagakerjaan,
3.    cenderung hanya menjawab problem pemerataan dengan lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas pendidikan.

4.    Tujuan pendekatan Social Demand
Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan yang mengandung misi pembebasan terutama bagi negara-negara berkembang yang kemerdekaannya baru saja diperoleh setelah melalui perjuangan pembebasan yang sangat lama. Pendidikan membebaskan rakyat dari rasa ketakutan, dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Misi pembebasan yang menjiwai tuntutan terhadap pendidikan merupakan tekanan keras bagi penyelenggara pendidikan.
Dengan melihat karakteristik tuntutan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan ini lebih menekankan pemerataan kesempatan atu kuantitatif, dibandingkan dengan aspek kualitatif. Karena itu pendidikan dasar merupakan prioritas utama yang harus diberikan kepada setiap anak usis SD. Kewajiban belajar merupakan manifestasi dari tuntutan sosial ini untuk membebaskan populasiusia sekolah dari tuna aksara.
Tujuan pendekatan ini adalah untuk memenuhi tuntutan atu permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktutertentu dalam situasi perekonomian politik dan kebudayan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampung seluruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan. Jika jumlah tempat yang tersedia masih lebih kecil daripadajmlah tempat yang seharusnya ada, maka dikatakan bahwa permintaan masyarakat melebihi penyediaan.

5.    Analisis Kebutuhan Sosial
Apabila pendekatan kebutuhan sosial ini dipergunakan, maka tugas para perencana pendidikan harus memperkirakan kebutuhan pada masa yang akan datang dengan menganalisa:
a.    Pertumbuhan penduduk
b.    Partisipasi dalam pendidikan (yakni dengan menghitung prosentase penduduk yang bersekolah)
c.    Arus murid dari kelas satu ke kelas yang lebih tinggi dan dari satu tingkat ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi (misalnya dari SD ke SLTP ke SMA dan ke perguruan tinggi).
d.    Pilihan atau keinginan masyarakatdari individu tentang jenis-jenis pendidikan.

Selanjutnya para perencana diminta untuk merencnakan penggunaan tenaga dan fasilitas yang adasecara optimal dan memobilisasikan dana dan daya upaya agar supaya permintaan masyarakat terhadap pendidikan menjadi terpenuhi. Dalam banyak negara, penyediaan pendidikan dasar baik dalam sekolah maupun di luar sekolah didasarkan pada pendekatan permintaan masyarakat.
Pendekatan seperti ini sukar diukur dan diteliti, kecuali untuk negara yang sudah melaksanakan undang-undang kewajiban belajar serta mempunyai data lengkap atau adanya kebijakan pemerintah.

6.    Pertimbangan dalam menyusun pendekatan Social Demand
Menurut Efendi(2000:25) ada beberapa hal yan perlu diperhitungkan dalam menggunakan pendekatan kebutuhan sosial ini, antara lain adalah:
a.    Adanya kewajiban belajar yanng dikeluarkan oleh pemerintah.
b.    Kondisi-kondisi sosial ekonomis yang memungkinkan untuk menyekolahkan anak.
c.    Kondisi-kondisi sosial yang ada pada masyarakat.
d.    Kemauan orang dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
e.    Motif untuk maju yang ada pada masayarakat ataupun yang sudah berkembang khususnya pada anak-anak usia sekolah.
f.    Tersedianya sumber-sumber dana berupa beasiswa.

Selain itu, menurut Arifin (2010), hal yang perlu diperhatikan oleh penyusun dalam merancang perencanaan pendidikan dengan pendekatan kebutuhan sosial, antara lain adalah:
a.    Melakukan analisis tentang pertumbuhan penduduknya.
b.    Melakukan analisis tentang tingkat partisipasi warga masyarakatnya dalam pelaksanaan pendidikan, misalnya melakukan analisis presentase penduduk yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan, yang dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan.
c.    Melakukan analisis tentang dinamika atau gerak peserta didik dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi, misalnya kenaikan kelas, kelulusan dan dropout.
d.    Melakukan analisis tentang minat atau keinginan warga masyarakat tentang jenis layanan pendidikan di sekolah.
e.    Melakukan analisis tentang tenaga pendidik dan kependidikan yang dibutuhkan, dan dapat difungsikan secara maksimal dalam proses layanan pendidikan.
f.    Melakukan analisis tentang keterkaitan antara output satuan pendidikan dengan tuntutan masyarakat atau kebutuhan sosial di masyarakat.

C.    Pendekatan Man Power
Pengertian pendekatan Man Power
Menurut Effendi (2000:26)  “Pendekatan man power adalah pendekatan yang lebih menekankan pada pendayagunaan tenaga kerja hasil suatu sistem pendidikan”.  Sedangkan menurut Yagi (2010) ”Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mendisain perencanaan pendidikan dikaitkan dengan pengembangan tenaga manusia melalui pendidikan, guna memenuhi tuntutan kebutuhan sektor perekonomian”. Dengan demikian, perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan terhadap penerimaan ketenagakerjaan akan mengidentifikasikan mengenai besarnya kebutuhan tenaga kerja untuk kurun waktu tertentu.
“Pengembangan sumber daya manusia melalui sistem pendidikan adalah suatu syarat yang penting untuk perkembangan ekonomi dan merupakan suatu penanaman sumber daya yang langka yang baik, hasil pola dan kualitas pendidikan digunakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja”. (Coombs, 1982:34).
Pendekatan tenaga kerja berguna untuk mengatasi kesenjangan tenaga kerja dan ketidakseimbangan yang ekstrim dalam pola hasil pendidikan yang membutuhkan perbaikan. Pendekatan ini hampir tidak  memerlukan penelitian statistik yang terperinci. Pendekatan tenaga kerja dapat juga memberikan bimbingan yang bermanfaat bagi pendidik tentang bagaimana kualifikasi pendidikan pekerja untuk dikembangkan di masa mendatang. Misalnya, bagaimana seharusnya proporsi relatif dari orang yang berpendidikan atau tingkat pendidikan yang lebih rendah, pendidikan menengah, dan berbagai latihan setelah pendidikan tingkat menengah. Hal ini sangat berguna untuk diketahui para perencana pendidikan, tetapi jauh berbeda dari syarat-syarat tenaga kerja yang terperinci (Coombs, 1987: 37).
Perlu diperhatikan pula bahwa perhitungan kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia maupun yang akan tersedia tidak terlepas dari faktor kualitas yang diharapkan. Semua ini mempunyai implikasi bahwa seorang perencana pendidikan setidak-tidaknya dapat memprediksi kemungkinan-kemungkinan perkembangan, baik secara kualitas maupun kualitas, terutama menyangkut sektor-sektor ekonomi dengan pedistribusian yang dapat diproyeksi. Timan (2004:17) “Pertumbuhan ekonomi tidak hanya memerlukan sumber dan fasilitas fisik, tetapi juga memerlukan sumber-sumber manusia yang mengorganisasi dan menggunakan fasilitas fisik. Jadi pengembangan sumber manusia  melalui sistem pendidikan adalah suatu syarat penting untuk pertumbuhan ekonomi dan suatu investasi yang baik dari sumber-sumber yang langka, dengan menentukan pola dan mutu output pendidikan sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja di bidang perekonomian”.
Banyak ahli ekonomi yang menyukai pendekatan man power terhadap perencanaan pendidikan.” Argumen yang mendukungnya secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi adalah sumber utama suatu pembangunan nasional secara menyeluruh dan oleh karenanya menjadi pertimbangan utama dalam mengalokasikan sumber-sumbernya”. (Timan, 2004:26)

Kelebihan pendekatan Man Power
Menurut Arifin (2010) ada beberapa kelebihan dari pendekatan man power, antara lain adalah:
a.    Prospek pembelajaran atau layanan pendidikan di satuan pendidikan mempunyai aspek korelasionalyang tinggi dengan tuntutan dunia kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat.
b.    Pendekatan ini mengharuskan adanya keterjalinan yang erat antaralembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri, hal ini tentu sangat positif untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia industri dan usaha.

Kekurangan pendekatan Man Power
Selain kelebihan, pendekatan ketenagakerjaan ini juga mempunyai beberapa kekurangan, antara lain:
a.    Mempunyai peranan yang terbatas terhadap perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini telah mengabaikan peran sekolah menengah umum, dan lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.”Dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum, pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda. Lembaga pendidikan kejuruan lebih menekankan pada usaha mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertantu” (UUSPN dalam Wena, 1997:1). Namun dalam realitasnya masih banyak lulusan sekolah menengah kejuruan yang menganggur (outputnya tidak terserap di dunia kerja).
b.    Perencanaan ini lebih menggunakan orientasi, klasifikasi, dan rasio antara permintaan dan persediaan.
c.    Tujuan utamanya untuk memenuhi dunia kerja, sedangkan disisi lain tuntutan dunia kerja selalu berubah-ubah(bersifat dinamik) begitu cepat, sehingga lembaga pendidikan kejuruan sering kurang mampu mengatasinya dengan baik.

Selain itu kesalahan penerapan pendekatan man power antara lain: pertama, pendekatan ini memberi bimbingan terbatas kepada para perencana pendidikan. Tidak pernah membicarakan pendidikan dasar (karena memang kurang berhubungan dengan pekerjaan), bahkan implikasinya menghambat perluasan pendidikan dasar. Sebagian besar studi man power mengarahkan perhatiannya kepada man power tingkat tinggi yang dibutuhkan oleh sektor modern(sebagian besar tenaga kerja kota). Jadi perencana diberi data yang tidak berguna bagi pendidikan orang-orang yang akan menjadi tenaga kerja bangsa di masa depan yang sebagian besar memerlukan tenaga kerja semi-terampil dan tidak terampil di kota, serta tenaga kerja yang sebagian besar hidup di desa.
Kedua, klasifikasi pekerjaan dan rasio tenaga kerja(umpamanya, rasio yang diinginkan antara insinyur dan tenaga teknis, dokter dan perawat) yang digunakan dalam mengadakan studi man power di negara-negara sedang berkembang, begitu juga asumsi kualifikasi pendidikan bagi setiap pekerjaan, biasanya dipinjam dari negara industri dan tidak sesuai dengan kenyataan di negara sedang berkembang tersebut. Rencana pendidikan yang didasarkan pada asumsi yang salah dapat berakibat salahnya persiapan generasi muda untuk jabatan yang akan dipangkunya.
Ketiga adalah ketidakmungkinan membuat perkiraan yang dapat dipercaya tentang kebutuhan man power untuk menjadi nilai nyata perencanaan pendidikan, karena banyaknnya faktor terlibat. Makin terperinci dan makin panjangnya suatu perkiraan, makin tidak dapat dipercaya kebenarannya.
Menurut Vembrianto(1985: 48) Pendekatan man power ini mempunyai kelemahan-kelemahan, yaitu :
1.    Pendekatan ini mempunyai peranan yang terbatas terhadap perencanaan pendidikan, pendekatan ini mengabaikan sekolah dasar karena dipandang sebagai tidak berhubungan dengan dunia kerja sehingga hanya mengutamakan pendidikan yang menghasilkan man power “tingkat tinggi” yang diperlukan oleh sektor dunia pekerjaan modern, padahal di masa depan masih tetap diperlukan tenaga-tenaga semi-skilled dan unskilled baik di kota-kota maupun di desa-desa
2.    Pendekatan ini menggunakan klasifikasi dan ratio manpower (ratio dokter- juru rawat, insinyur-tukang, dll), yang didasarkan atas keadaan masyarakat yang telah mencapai taraf ekonomi industri, dengan demikian tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan di Negara-negara berkembang, akibatnya terjadi pendidikan yang salah atau berlebihan yang dipersiapkan untuk jabatan-jabatan tertentu.
3.    Kesulitan ketiga ialah disebabkan oleh tidak mungkinnya membuat forecasting yang dapat dipercaya mengenai kebutuhan man power yang diperlukan bagi perencanaan pendidikan, karena adanya ketidak pastian ekonomik, teknologik,dll., lebih-lebih di Negara-negara berkembang; makin terperinci jabatan-jabatan itu, dan makin panjang jangka waktu yang dimasukkan dalam perencanaan itu, makin tidak dapat dipercaya perencanaan tersebut; pasaran kerja itu sangat labil, bergerak dari keadaan kekurangan ke kelebihan.

Tujuan pendekatan Man Power
Yang dimaksud dengan ketenagakerjaan menurut A. W. Guruge dalam Udin S (2005:239)”Gearing on educational eforts to the fulfiment of national man powerrequirement”. Jadi menurut Guruge pendekatan ini bertujuan mengarahkankegiatan pendidikan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja.
Pendekatan ini mengutamakan kepada keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan seperti sektor ekonomi, pertanian, perdagangan dan industri. Tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperolehkesempatan kerja yang lebih baikhingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki melalui penghasilan karena dikaitkan langsung dengan usaha pemenuhan kebutuhan dasar setiap orang. Karena itu, tekanan utama adalah relevansi program pendidikan denganberbagai sektor pembangunan dilihat dari pemenuhan ketenagaan.
Pendidikan kejuruan dan teknologi baik pada tingkat menengah maupun tingkat universitas merupakan prioritas. Untuk memenuhi tuntutan relevansi seperti yang telah disebutkan, kurikulum dikembangkan sedemikian rupa hingga lulusan yang merupakan output sistem pendidikan sipa pakai di lapangan. Implikasi dari pendekatan ini adalah pendidikan harus diorientasikan kepada pekerjaan yang mungkin diperlukan di pasaran kerja.

Pertimbangan dalam menyusun pendekatan Man Power
Menurut Arifin (2010) Apabila pendekatan ini dipakai oleh para penyusun perencanaan pendidikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
a.    Melakukan kajian atau analisis tentang beragam kebutuhan yang diperlukan oleh dunia kerja yang ada di masyarakat secermat mungkin.
b.    Melakukan kajian atau analisis tentang beragam bekal pengetahuan dan keterampilan apa yang perlu dimiliki oleh peserta didik agar mampu menyesuaikan diri secara cepat(adaptif) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di dunia kerja.
c.    Mengkaji atau menganalisis tentang sistem layanan pendidikan yang terbaik dan mampu memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk terjun di dunian kerja, oleh karena itu perludilakukan anlisis peluang kerja dan menjalin kerjasama antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri.

Sa’ud dan Makmun A. S (2005: 243) “ Alternatif pendekatan perencanaan pendidikan dalam pendekatan kebutuhan ketenaga kerjaan mengutamakan kepada keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap  tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperolah kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki”.

D. Pendekatan Cost Benefit
Pengertian pendekatan Cost Benefit
Pendekatan cost benefit adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada keseimbangan antara keuntungan dan kerugian (Yagi, 2010). Prinsip untung rugi inilah yang dipakai oleh individu yang rasional kalau memutuskan bagaimana sebaiknya membelanjakan uang agar keinginannya tercapai.
Ia meneliti alternatif-alternatifnya, menimbang biaya masing-masing alternatif  dan kepuasan yang menyertainya atau kegunaan yang akan diperolehnya dan kemudian memilih kemungkinan tertentu sebatas kemampuannya yang paling menguntungkan.

Ciri-ciri pendekatan Cost Benefit
Ciri-ciri pendekatan ini antara lain adalah:
a.    Pendidikan memerlukan biaya investasi yang besar, oleh karena itu perencanaan pendidikan yang disusun harus mempertimbangkan aspek keuntungan ekonomis.
b.    Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa:
1.    Kualitas layanan pendidikan akan menghasilkan output yang baik dan secara langsung akan memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.
2.    Sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional adalah sebanding dengan tingkat pendidikannya.
3.    Perbedaan pendapat seseorang di masyarakat, ditentukan oleh kualitas pendidikan bukan ditentukan oleh latar belakang sosialnya.
c.    Perencanaan pendidikan harus betul-betul diorientasikan pada upaya meningkatkan kualitas SDM (penguasan IPTEK), dan dengan tersedianya kualitas SDM, maka diharapkan income masyarakat akan meningkat
d.    Program pendidikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi akan menempati prioritas pembiayaan yang besar.

Kelebihan pendekatan Cost Benefit
Adapun kelebihan pendekatan cost benefit menurut Arifin (2010) antara lain adalah:
a.    Perencanaan pendidikan yang disusun akan mempunyai aspek fungsional dan keuntungan ekonomis, sehingga bentuk-bentuk layanan pendidikan yang dianggap kurang produktif  bisa ditiadakan melalui pendekatan efisiansi investasi.
b.    Pendekatan ini selalu memilih alternatif yang menghasilkan keuntungan lebih banyak daripada biaya yang dikeluarkan.

Kekurangan pendekatan Cost Benefit
Ada beberapa kelemahan pendekatan cost benefit menurut Abin dalam Arifin (2010), diantaranya adalah:
a.    Akan mengalami kesulitan dalam menentukan secara pasti biaya dan keuntungan (cost dan benefit) dari layanan pendidikan, terlebih apabila digunakan mengukur keuntungan untuk periode atau masa yang akan datang.
b.    Sangat sulit untuk mengukur secara pasti atau menghitung keuntungan (benefit) yang dihasilkan oleh seseorang dalam lapangan pekerjaan yang dikaitkan dengan layanan pendidikan sebelumnya.
c.    Faktor internal individu (misalnya motivasi, disiplin, kelas sosial, orientasi hidup individu dan sejenisnya) dan hanya melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penghasilan.
d.    Perbedaan pendapat seseorang sebenarnya tidak semata-mata menunjukkan kemampuan produktifitas individual, tetapi ada faktor lain yang ikut menentukan yaitu faktor konvensi sosial atau banyak dipengaruhi dari kerja kelompok.
e.    Keuntungan dari pendidikan pada dasarnya tidak hanya diukur berupa keuntungan finansial (material), tetapi juga dapat dilihat dari keuntungan sosial budaya.

Selain itu, salah satu kelemahan dan kritik khusus bagi pendekatan cost benefit adalah masalah the estimate income for gone by student yang dimasukkan ke dalam perhitungan biaya, terutaman di negara yang dilanda masalah pengangguran. Kelemahan yang lebih serius berhubungan dengan perhitungan keuntungan dimasa yang akan datang. Cara yang biasanya dipergunakan adalah menghitung perbedaan life time learning setiap orang yang merupakan akibat dari pendidikan yang diperolehnya, dikurangi dengan presentase yang dibuat sebagai ganti dari sebab-sebab non-pendidikan terhadap pndapatan ini (umpamanya: motivasi, latar belakang keluarga dan relasi). Tetapi perbedaan pendapat di masa mendatang, sehubungan dengan berbagai perbadaan pendidikan dihitung atas dasar perbedaan masa lampau dan masa sekarang secara implisit.

Tujuan pendekatan Cost Benefit
Pendekatan ini adalah bersifat ekonomi dan berpangkal dari konsep investment in human capital atau investasi pada sumber daya manusia. Setiap investasi harus mendatangkan keuntungan yang dapat diukur dengan nilai moneter. Pendidikan memerlukan investasi yang besar dan karena itu keuntungan dari investasi tersebut harus dapat diperhitungkan bilamana pendidikan itu memang mempunyai nilai ekonomi.
Pendidikan secara konseptual tampaknya tidak diragukan lagi mempunyai nilai ekonomi artinya pendidikan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, walaupun para ahli ekonomi mengalami kesukaran secara nyata dan pasti dalam mengukur kontribusi tersebut, karena sifat dan ciri pendidikan yang kompleks itu. Keterkaitan pendidikan dengan ekonomi dapat diterangkan dengan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti tenaga kerja, pengetahuan dan teknologi. Faktor ini hanya dapat diwujudkan denganmasuknya peran pendidikanmelalui faktor manusia, sebab pembangunan ekonomi pada dasarnya dilakukan oleh manusia dan untuk manusia. Sedangkan pebangunan manusia hanya mungkin dilakukan oleh pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, pendekatan untung rugi atu keefektifan biaya mempunyai implikasi sesuai dengan prinsipekonomi yaituprogram pendidikan yang mempunyai nilai ekonomi tinggimenempati urutan atau prioritas tinggi. Karena pendekatan keefektifan biayamempunyai keterkaitan erat dengan pendekatan ketenagakerjaan, maka program pendidikan kejuruandan teknologi yang lulusannya mempunyai kesempatan lebih baikuntuk bekerja mendapt prioritas dalam alokasi pembiayaan sebagai bentuk nvestasi dalam pendidikan.

Langkah Penting Dalam Pelaksanaan Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan harus meliputi dua macam perencaanaan, yaitu perencanaan makro yang membuat dimensi yang luas daripada sistem pendidikan dan relasinya dengan perencanaan dalam bidang sosial dan ekonomi serta perencanaan mikro yang memuat perencanaan mengenai proses internal daripada sistem pendidikan termasuk pola subsistem sub sistem yang ada di dalamnya.
Agar perencanaan pendidikan dapat berjalan dengan baik, maka harus sesuai dengan langkah-langkah berikut:
a.    Penelitian dan diagnosa untuk mengidentifikasi problema pokok yang dihadapi oleh perencanaan pendidikan.
b.    Mengadakan training bagi orang-orang agar mereka mampu mempraktekkan hasil-hasil penelitian dan metodologi perencanaan itu dalam praktek.
c.    Menyususn dan mengadakan penyesuaian tata organisasi dan administrasi agar memungkinkan terlaksananya perencanaan itu.

Dari pengalaman pelaksanaan perencanaan pendidikan di berbagai tempat dapat ditarik pelajaran antara lain:
a.    Suatu sistem pendidikan hanya dapat direncanakan dengan baik dan rencananya itu hanya dapat di implementasikandengan baik apabila merekayang mempunyai tanggungjawab atas berbagai bagian dalam sistem itu merupakan perencana yang baik, dan hanya apabila masing-masingperencana itu memungkinkan perencanaan bagian saling jalin menjalindan diintegrasikanmenjadi suatu kesatuanyang kompak dan selaras yang tertuju kepada tercapainya tujuan dari keseluruhan sistem itu.
b.    Perencanaan akan terlaksana dengan sebaik-baiknya apabila para pemimpin politik dan pendidikan sungguh-sungguh yakin pentingnya perencanaan itu, memberikan dukungan mereka, dan secara serius menggunakan perencanaan itu dalam keputusan-keputusan mereka, serta orang-oranglain yang secara serius terlibat dalam sistem pendidika itu, misal para petugas administrasi, guru, murid, orangtua murid, diberi kesempatan yang wajar untuk memberikan andilnya dalam perumusan rencan pendidikan itu. (Vembrianto, 1985:50)

Menurut Vembrianto(1985:51) ada lima tuntutan yang harus diperhatikan bagi penyempurnaan perencanaan pendidikan di masa yang akan datang, yaitu:
a.    Tiga macam cara pendekatan yang telah disebut (sosial demand, man power, dan cost benefit) harus disintesiskan menjadi suatu pendekatan utuh dan selaras.
b.    Berbagai metodologi yang diperlukan oleh pendekatan yang telah disistesiskan itu perlu disempurnakan dan dikembangkan lebih lanjut.
c.    Usaha besar-besaran perlu dilakukan oleh semua sistem pendidikan untuk menyempurnakanarus informasi yang diperlukan bagi perencanaan yang efektif.
d.    Perlu dipersiapkan adanya sejumlah besar kader yang berwenang dalam perencanaan pendidikan, dan suatu keyakinan mengenai pentingnya perencanaan pendidikan perlu disebarkan di kalangan siapa saja yang berpartisipasi dalam proses perencanaan itu.
e.    Pengaturan organisasi dan administrasi, pola sikap dan tingkah laku perlu diubah secara radikalagar memungkinkan pelaksanaan perencanaan secara efektif.

Vembrianto (1985:52) menyimpulkan bahwa Perencanaan pendidikan di masa depan harus memuat lima buah pokok persoalan sebagai berikut:
a.    Perumusan tujuan :
perumusan tujuan pendidikan dan penentuan prioritasnya sangat diperlukan untuk mengadakan evaluasi pelaksanaan sistem pendidikan dan untuk menyusun perencanaan pendidikan. Tujuan pendidikan itu harus konsisten dengan tujuan umum masayarakat (tujuan nasional suat bangsa). Di samping itu tujuan sistem pendidikan itu harus pula konsisten dengan tujuan sub sistem di dalamnya. Merumuskan tujuan umumsistem pendidikan adalah sangat sulit. Sedangkan merumuskan tujuan operasional yang spesifik pada umumnya lebih mudah. Perumusan tujuan pendidikan itu diperlukan sebagai kriteria untuk mengetes kegiatan pelaksanaannya.
b.    Evaluasi terhadap pelaksanaan sistem :
perumusan tujuan pendidikan itu penting untuk :
a.    memberi arah kegiatan pendidikan,
b.    memberi dasar untuk mengecek kegiatan itu,
c.    memberi dasar untuk membandingkan alternatif dari berbagai cara mencapai tujuan proses belajar yang khusus, dengan demikian berguna untuk menentukan manakah dari berbagai cara itu yang paling efisien.
Untuk evaluasi itu diperlukanberbagai alat diagnostik yang diperlukan untuk menilai pelaksanaan kegiatan, mencari kemungkinan penyempurnaannya.
d.    Penggunaan cara pendekatan sistem dalam penyusunan design pendidikan.
e.    Gaya dan tindakan menejemen yang baru: untuk itu adanya operationsresearch, programme budgeting,cost analisys, cost effectiveness testing, dan cost benefit analisys.
f.    Penelitian dan pengembangan sistem pendidikan secara intensif.

Dalam pelaksanaan pendidikan, model-model pendekatan sebagai upaya pencerahan dan pemberdayaan jalur pendidikan yang sekaligus dapat dijadikan pedoman dasar penyelenggaraan hendaklah terus diperhatikan dan dimaknai secara benar.
“ Pendekatan-pendekatan dalam upaya pemberdayaan pendidikan antara lain seperti tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga mutu dan kelangsungan pendidikan, belajar seumur hidup, watak mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara, menyiapkan tenaga yang siap terlatih dan siap pakai, dan menyiapkan generasi muda yang lebih baik dengan pendekatan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. (Rachman, 2001:289).
Menurut Direktorat Pendidikan Dasar dalam Bafadal (1999:29), setidaknya ada lima komponen yang menentukan mutu pendidikan, antara lain adalah:
1.    Kegiatan belajar mengajar.
2.    Manajemen pendidikan yang efektif dan efisien.
3.    Buku dan sarana belajar yang memadai dan selalu dalam kondisi siap pakai.
4.    Fisik dan penampilan sekolah yang baik, dan
5.    Partisipasi aktif  masyarakat.

E. Pendekatan Integratif
Pengertian Pendekatan Integratif
Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan integrasi (terpadu) dianggap sebagai pendekatan yang lebih lengkap dan relatif lebih baik daripada ketiga pendekatan di atas. Pendekatan ini sering disebut dengan “pendekatan sistemik atau pendekatan sinergik” (Arifin, 2010).
Diantara ciri atau karakteristik pendekatan integratif adalah, bahwa perencanaan  pendidikan yang disusun berdasarkan pada (Arifin, 2010):
1.    Keterpaduan orientasi dan kepentingan terhadap pengembangan individu dan pengembangan sosial (kelompok)
2.    Keterpaduan antara pemenuhan kebutuhan ketenagakerjaan (bersifat pragmatis) dan juga mempersiapkan pengembangan kualitas akademik (bersifat idealis) untuk mempersiapkan studi lanjut
3.    Keterpaduan antara pertimbangan ekonomis (untung rugi), dan pertimbangan  layanan sosial-budaya dalam rangka memberikan kontribusi terhadap terwujudnya integrasi sosial-budaya
4.    Keterpaduan pemberdayaan terhadap sumber daya lembaga, baik sumber daya internal maupun sumber daya eksternal
5.    Konsep bahwa seluruh unsur yang terlibat dalam proses layanan pendidikan (pelaksanaan program) di setiap satuan pendidikan merupakan ‘suatu sistem’
6.    Konsep bahwa kontrol dan evaluasi pelaksanaan program (perencanaan pendidikan) melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan proses layanan kualitas pendidikan, dengan tetap berada dalam komando pimpinan atau kepala satuan pendidikan.

Sedangkan pihak-pihak yang dapat terlibat dalam proses evaluasi pelaksanaan perencanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah:
1.    Kepala sekolah
2.    Guru
3.    Siswa
4.    Komite Sekolah
5.    Pengawas sekolah
6.    Dinas pendidikan (Vembrianto. 1982; Soenarya, E. 2000; Depdiknas, 2001, 2006 dalam Arifin, 2010).

Kelebihan-Kelebihan Pendekatan Integratif
1.    Semua sumber daya (internal-eksternal) yang dimiliki dalam proses  pengembangan pendidikan akan terberdayakan secara baik dan seimbang
2.    Dalam proses pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan memberikan peluang secara maksimal kepada setiap warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa dan komite sekolah (tokoh dan orang tua wali siswa) untuk berkontribusi secara positif sesuai dengan status dan peran masing-masing
3.    Peluang untuk pencapaian tujuan pendidikan yang telah dirumuskan akan lebih efektif, karena dalam perencanaan terpadu memberikan porsi yang cukup besar bagi pemberdayakan semua potensi yang dimiliki secara kelembagaan, dan menuntut partisipasi aktif dari semua warga sekolah
4.    Perencanaan pendidikan yang terpadu akan mampu menghadapi perubahan atau dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan budaya atau tingkat kompetisi yang begitu tinggi di semua bidang kehidupan di era globalisasi
5.    Pelaksanaan pendekatan perencanaan pendidikan terpadu secara baik akan mampu mensosialisasi dan menginternalisasi setiap warga sekolah, untuk membangun sikap mental dan pola perilaku yang integral atau multidimensional atau komprehensif dalam memahami dan melaksanakan setiap agenda kehidupan di masyarakat
6.    Output dari proses layanan pendidikan pada peserta didik  akan lebih menampilkan potret hasil pendidikan yang lengkap, baik kualitas akademiknya, kualitas kepribadiannya dan kualitas ketrampilannya (Arifin, 2010).

Kelemahan-Kelemahan Pendekatan Integratif
1.    Pendekatan ini memerlukan ketersediaan kualitas sumber daya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), khususnya kualitas pengetahuan, mentalitas atau kepribadiannya, dan spiritualnya. Dalam realitasnya menurut data Depdiknas 2006-2007, khususnya tentang kualitas tenaga pendidik (guru) secara makro (Nasional) dari jenjang pendidikan paling dasar sampai menengah atas yang betul-betul telah memenuhi standar kualitas guru yang professional masih kurang dari 20 %, atau kurang lebih   80 % guru-guru di Indonesia belum memiliki kualifikasi sebagai guru yang profesional (Arifin, 2007). Hal ini tentu sangat menyulitkan proses pelaksanaan perencanaan pendidikan yang integratif
2.    Perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas pengelolaan manajemen kelembagaan secara transparan, akuntabel, demokratik dan visioner. Dalam realitasnya masih banyak dijumpai  pola pengelolaan manajemen di setiap satuan pendidikan yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
3.    Perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas peran serta masyarakat (PSM), dalam meningkatkan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, khususnya dalam melaksanakan empat peran penting, yaitu sebagai:
a.    Pemberi pertimbangan (advisory)
b.    Pendukung (supporting)
c.    Pengontrol  (controlling)
d.    Mediator (Depdiknas, 2006 dalam Arifin, 2010).

Dalam realitasnya keempat peran tersebut belum terlaksana dengan baik di setiap lembaga atau satuan pendidikan. Jadi, uraian tentang kelemahan pendekatan integratif atau terpadu atau sistemik sejatinya tidak menyangkut ranah konseptual, tetapi lebih bersentuhan pada tataran unsur pendudukung dalam pelaksanaan program (aplikasinya). Oleh karena itu secara konseptual pendekatan perencanaan integrasi merupakan pendekatan yang paling baik apabila dibandingkan dengan pendekatan yang lain yang lebih bersifat parsial (sektoral) (Arifin, 2010).
Hal yang paling kunci untuk mendukung pelaksanaan program pendidikan pada perencanaan pendidikan integratif adalah:
1.    Terus mendorong pengembangan kualitas SDM warga sekolah
2.    Terus meningkatkan kualitas manajemen satuan pendidikan berdasarkan prinsip-prinsip MPMBS
3.    Terus meningkatkan kualitas peran serta masyarakat (PSM) untuk mencapai tujuan pendidikan (Arifin, 2010).

JENIS-JENIS PERENCANAAN PENDIDIKAN
Ada beberapa tipe atau jenis perencanaan dalam pendidikan. Pertama yaitu tipe atau jenis perencanaan yang ditinjau dari dari segi ruang lingkupnya ada tiga yaitu perencanaan mikro, perencanaan meso dan perencanaan makro. Kedua adalah tipe atau jenis perencanaan ditinjau dari segi waktu yang dapat dibagi menjadi tiga juga yaitu perencanaan jangka pendek , perencanaan jangka menengah dan juga perencanaan jangka panjang. Dan yang selanjutnya yaitu ketiga perencanaan ditinjau dari segi sifatnya dapat dibagi menjadi tiga juga yaitu tipe  atau jenis perencanaan strategi dan  operasi.

Menurut Besaranya atau segi ruang lingkup
1.    Perncanaan  Makro
Perencanaan makro adalah perencanaan yang menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh, tujuan yang ingin dicapai dan cara-cara mencapai tujuan itu pada tingkat nasional. Rencana pembanguna nasional dewasa ini meliputi rencana dalam bidang ekonomi dan social. Dipandang dari sudut perencanaan makro, tujuan yang harus dicapai Negara (khususnya dalam bidang peningkatan SDM) adalah pengembangan system pendidikan untuk menghasilkan tenaga pembangunan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif pendidikan harus menghasilkan tenaga yang cukup banyak sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sedangkan secara kualitatif harus dapat menghasilkan tenaga pembangunan yang terampil sesuai dengan bidangnya dan memiliki jiwa pancasila.

2.    Perencanaan meso
Kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada tingkat makro, kemudian dijabarkan kedalam program-program yang bersekala kecil.pada tingkatamnya perencanaan sudah lebih bersifat operasional disesuaikan dengan depertem,en dan unit-unit

3.    Perencanaan mikro
Perencanaan mikro diartikan sebagai perencanaan pada tingkat instituisional dan merupakan penjabran dari perencanaan tingkat mesokhususan dari lembaga mendpatkan perhatian, namun tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan dalam perencanaan makro ataupun meso.

Menurut Tingkatannya
1.    Perencanaan Strategic
Perencanaan strategic disebut juga dengan perencanaan jangka panjang. Strategi itu menurut R.G. Muurdick diartikan sebagai konfigurasi tentang hasil yang diharapkantercapai pada masa depan. Bentuk konfigurasi terungkap berdasarkan:
1.    Ruang lingkup
2.    Hasil persaingan
3.    Target
4.    Penataan sumber-sumber

Perencanaan strategic digunakan untuk mengatakan suatu lingkup perencanaan yang lebih “general”  disamping adanya beberapa jenis perencanaan lain yang disebut stainer. Pengertian perencanaan strategic yaitu proses pendayagunaan sumber-sumber dan strategi yang mengatur pengadaan dan pendayagunaan sumber untuk pencapain tujuan .
Hal tersebut bertujuan untuk mencari bentuk dan identitas pada masa yang akan datang dengan mempertimbangkan berbagai kompleks dalam suatu system. Berdasarkan hal diatas, metode penelaah dan pemecahan masalah didasarkan atas kerangka ini mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut:
1.    Sistematik dan sistemik
2.    Berorientasi pada output dan konfigurasi keinginan
3.    Mempunyai tujuan menyeluruh
4.    Berdimensi jangka panjang, menengah, dan pendek
5.    Menerapkan metode keilmuan analisi teoretik dan empiric dengan program pengembangan.
6.    Rencana operasional terjabar kedalam proyek dan program
7.    Berlandaskan kebijakan
8.    Memperhitungkan norma dan kaidah
9.    Mempunyai pola input, proses, output dengan informasi umpan balik.

2.    Perencanaan Koordinatif
Perencanaan koordinatif ditunjukan untuk mengarahkan jalannya pelaksanaan, sehingga tujuan yang telah ditetapkan itu dapat tercapai secara  efektif dan efisien. Perencanaan ini mempunyai cangkupan semua aspek operasi suatu system yang meminta di taatinya kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkanpada tingkat perencanaan strategic.
Sedangkan ada pendapat lain yang menyimpulkan yang hampir sama dengan pengertian diatas yaitu menurut dalam buku system informasi manajemen dan perencanaan pembangunan pendidikan yang disusun Idocdi Anwar, dkk yang dikutip dari   H. Ozbehkan (D. Cleland & W.R king. 1975, Hal, 31)  mengemukaka tiga jenis perencanaan, yaitu: “polici planning. Strategic planning dan operational planning.
1.    Perencanaan strategis berbagai upaya untuk mempersiapkan seperangkat desisi dimasa yang akan datang yang mempengaruhi keseluruhan kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu organisasi
2.    Perencanaan taktis adalah sebagai upaya dalam mempersiapkan berbagai desisi untuk kegiatan-kegiatan jangka pendek terutama dalam mengalokasi berbagai sumber yang diperlukan dalam pencapaian tujuan
3.    Perencanaan teknis adalah proses upaya untuk mempersiapkanberbagai desisi untuk dilaksanakan terutama dalam jangka waktu yang pendek dan untuk pelaksanaan tugas-tugas yang spesifik dalam rangka pencapaian tujuan yang sudah pasti (target-target)

Menurut Jangka Waktunya
1.    Perencanaan Jangka Pendek
Perencanaan jangka pendek adalah perencanaan tahunan atau perencanaan yang dibuat untuk dilaksanakan dalam waktu kurang dari 5 tahun, sering disebut sebagai rewncana operasional. Perencanaan ini merupakan penjkabaran dari rencana jangka menengah dan jangka panjang.

2.    perencanaan jangka menengah
Perencanaan jangka menengah mencakup kurun waktu diatas 5-10 tahun. Perencanaan ini penjabaran dari rencana jangka panjang, tetapi sudah lebih bersifat operasional.

3.    Perencanaan jangka panjang
Perencanaan jangka panjang meliputi cakupan waktu diatas 10 tahun sampai dengan 25 tahun. Perencanaan ini memiliki jangka menengah, lebih-lebih lagi jika dibandingkan dengan perencanaan jangkla pendek. Dengan demikian perencanaan tahunan bukan hanya sekedar pembabakan dari rencana 5 tahun, tetapi merupakan penyempurnaan dari rencana itu sendiri.
Kegiatan-kegiatan apakah yang terdapat dalam penyusunan rencana tahunan ? secara garis besar jenis kegiatan dan tahapannya meliputi sebagai berikut:
1.    Penyusunan kebijakan umum
2.    Penyusunan kebijakan teknis
3.    Penyusunan rancangan penyesuaian  kebijaksanaan
4.    Penyempurnaan program
5.    Penyusunan uraian kegiatan operasional proyek-proyek (UKOP)
6.    Identifikasi proyek
7.    Penyusunan pra-DUP (daftar Usulan Proyek)
8.    Penyusunan DUP Depdikbud
9.    Pembahasan DOP, antara Depdikbud, Bapenas dan Departemen Keuangan
10.    Penyusunan UKOP
11.    Penyusunan Pra-DIP (Daftar Isian Proyek)
12.    Pembahasan Pra-DIP, antar Depdikbud, Bappenas, dan Dirjen Anggaran
13.    Penyempurnaan UKOP
14.    Penyeleseian DIP (dari konsep DIP yang telah disetujui)

Jenis perencanaan berdasarkan sifatnya
Jenis perencanaan berdasarkan sifat dibagi atas :
1.    Perencanaan Strategik, perencanaan yang berhubungan dengan proses penetapan tujuan , pengalokasian sumber – sumber untuk mencapai tujuan dan kebijakan – kebijakan yang dipakai sebagai pedoman untuk memperoleh, menggunakan atau menghilangkan hal – hal tersebut. Perencanaan strategis cenderung dipusatkan pada masalah – masalah yang tidak begitu terstruktur yang melibatkan variable – variable yang jumlahnya banyak dan parameter yang tidak pasti.
1.    Perencanaan Manajerial, perencanaan yang ditujukan untuk mengarahkan jalannya pelaksanaan, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
2.    Perencanaan Operasional, yang memusatkan perhatian pada apa yang akan dikerjakan pada tingkat pelaksanaan di lapangan dari suatu rencana manajerial.
Jenis perencanaan berdasarkan sektor dibagi atas :
Perencanaan Nasional, proses penyusunan perencanaan berskala nasional sebagai konsensus dan komitmen seluruh rakyat yang terarah, terpadu, menyeluruh untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
3.    Perencanaan Regional, yang juga disebut dengan perencanaan daerah atau wilayah, diantaranya Propeda dan perencanaan pendidikan di tingkat propinsi, kabupaten /kota.
4.    Perencanaan Tata Ruang, perencanaan yang mengupayakan pemanfaatan fungsi kawasan tertentu, mengembangkan secara seimbang , baik secara ekologis, geografis maupun demografis.

Hubungan antar tipe-tipe atau jenis-jenis perencanaan
Tipe-tipe perencanaan baik dari segi waktu, ruang lingkup, maupun dari segi sifat ada kaitanya satu dengan yang lainya. Perencanaan jangka panjangberkaitan erat dengan tipe-tipe ruang lingfkup terutama perencanaan mikro dengan perencanaan operasional. Perencanaan jangka panjang sifatnya umum dan fleksibel, hamper sama dengan perencanaan strategi yang sifatnya juga belum spesifik.
Perencanaan operasional pada umumnya dilakukan dengan jangka pendekyang mencakup perencanaan makro, meso maupun mikro. Perencanaan operasional berjangka pendek ini palin jelas tampak pada perencanaan mikro sebab ia bergerak dalam wilayah yang sangat kecil.
Sedangkan Perancanaan  itu sendiri adalah seperangkat prosedur untuk memecahkan permasalahan fisik, social, dan ekonomi, yang harus meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.    Seperangkat tindakan
b.    Upaya untuk memecahkan masalah,
c.    Memiliki dimensi waktu dan berorientasi ke masa yang akan datang
d.    Suatu proses berputar dengan adanya umpan balik ,
e.    Melibatkan beberapa alternatif untuk mencari pemecahan Dari definisi atau pengertian tentang perencanaan tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa perencanaan tersebut disusun agar dapat menuju kearah yang lebih baik, walaupun demikian tidak semua perencanaan tersebut berjalan sesuai rencana, terkadang sesuatu yang telah kita perhitungkan dengan matang, tapi pada kenyataanya kadang kala terdapat masalah yang diluar perkiraan kita, oleh karena itulah perencanaan tersebut akan terus dievaluasi dalam kurun waktu tertentu agar tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud dan terlaksana dengan baik.

Kebijakan yang sering berganti-ganti bukanlah satu-satunya penyebab rendahnya mutu pendidikan saat ini, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya mutu pendidikan, diantara faktor-faktor tersebut misalnya adalah rendahnya kualitas/profesionalisme guru selaku tenaga pendidik, kurangnya sarana prasarana pendidikan, kurangnya perhatian orang tua/partisipasi masyarakat juga dapat menyebabkan rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya kualitas/profesionalisme guru dapat disebabkan karena banyak sekali guru yang tidak fokus kepada profesinya dikarenakan rendahnya income yang diperoleh guru tersebut, hingga mereka mengajar hanya untuk memenuhi kewajiban saja, mereka tidak mempunyai beban moral atau tanggung jawab untuk mencerdaskan anak didik mereka, karena yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana mereka dapat mencari penghasilan tambahan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hariKarena itulah perubahan kebijakan yang dilakukan ditengah jalan sebaiknya seminimal mungkin kalau bisa dihindarkan, hingga tidak menjadikan salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan.
Hudson menunjukkan 5 proses perencanaan yaitu radical, advocacy, transactive, synoptic, dan incremental yang dikatakan sebagai taxonomy. Perencanaan partisipatori berarti perencanaan yang melibatkan beberapa yang berkepentingan dalam merencanakan sesuatu  yang dipertentangkan dengan merencanakan yang hanya dibuat oleh seseorang atau beberapa orang atas dasar wewenang kedudukan, seperti perencana di tingkat pusat kepala-kepala kantor pendidikan di daerah.

Konsep Perencanaan Pendidikan
Dalam menjalankan program pendidikan, prinsip yang harus disertakan adalah berkelanjutan, artinya proses pendidikan harus terus-menerus dijalankan dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini tidak terlepas dari konsep pendidikan seumur hidup. Untuk itu diperlukan suatu manajemen perencanaan yang terukur dan terarah di bidang pendidikan. Perencanaan sumber daya manusia memfokuskan perhatian pada langkah-langkah tertentu yang diambil oleh manajemen guna lebih menjamin bahwa dalam organisasi tersedia tenaga kerja yang tepat untuk menduduki berbagai kedudukan, jabatan dan pekerjaan yang tepat pada waktu yang tepat, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang telah dan akan ditetapkan (Taqiyuddin : 2006).
Menurut catatan Sukardika (2001), kualitas pendidikan Indonesia sampai saat ini berada pada posisi bawah bila dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Philipina, Singapura, bahkan dengan Vetnam sekalipun. Hal ini dapat dipahami mengingat salah satu penyebabnya adalah bahwa perencanaan pendidikan saat ini belum ditunjang oleh data dan informasi yang memadai. Perencanaan yang baik hanya dapat terwujud apabila didukung dengan data dan informasi yang cepat, tepat dan akurat.
Sebagai bagian dari manajemen, langkah perencanaan sangatlah penting, apalagi bidang yang direncanakan adalah bidang yang sangat subtansial yaitu pendidikan, yang merupakan langkah awal dalam pembentukan kerangka sumber daya manusia. Dari pandangan ini, berarti diperlukan perencanaan terpadu secara horizontal [antarsektor] dan vertikal [antar jenjang – bottom-up dan top-down planning], pendidikan harus berorientasi pada peserta didik dan pendidikan harus bersifat multikultural serta pendidikan dengan perspektif global” (Fasli Jalal dalam Sanaky : 2003)
Sejalan dengan perkembangan kemajuan teknologi, khususnya di bidang informasi, perencanaan bidang pendidikan juga harus mengantisipasi perubahan kondisi seperti saat sekarang ini. Jadi perencanaan pendidikan harus lebih kreatif dalam beradaptasi dan berkembang sesuai dengan improvisasi yang tepat. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Maka, pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan (Sanaky : 2003).

Sumber :
http://renggani.blogspot.com/2008/03/makalah-perencanaan-pendidikan.html
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2077094-pengertian-dan-sejarah-perencanaan-pendidikan/
http://desiwidiasari.wordpress.com/2011/05/05/teori-perencanaan-pendidikan/
http://attawijasa20.wordpress.com/2011/05/06/jenis-jenis-perencanaan-pendidikan/
http://simpangmahar.blogspot.com/2010/05/konsep-perencanaan-pendidikan.html

Perencanaan Pembangunan

Teori Perencanaan Pembangunan
Konsep dasar perencanaan adalah rasionalitas, ialah cara berpikir ilmiah dalam menyelesaikan problem dengan cara sistematis dan menyediakan berbagai alternatif solusi guna memperoleh tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu perencanaan sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat dalam mengembangkan budaya ilmiah dalam menyelesaikan Tugas Filsafat dan Teori Perencanaan Pembangunan 2 permasalahan yang dihadapinya. Hal ini cukup beralasan karena perencanaan juga berkaitan dengan pengambilan keputusan (decision
maker), sedangkan kualitas hasil pengambilan keputusan berkorelasi dengan pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), informasi berupa data yang dikumpulkan oleh pengambil keputusan (ekskutor). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat kembali pada kurva/grafik spatial data dan decesion.
Menurut friedmann, perencanaan akan berhadapan dengan problem mendasar yakni bagaimana teknis pengetahuan perencanaan yang efektif dalam menginformasikan aksi-aksi publik. Atas dasar tersebut maka perencanaan didefinisikan sebagai komponen yang menghubungkan antara pengetahuan dengan aksi/tindakan dalam wilayah publik. Pada prinsipnya friedmann menyatakan perencanaan harus bertujuan untuk kepentingan
masyarakat banyak.
Disisi lain Campbell dan Fainstain (1999:1) menyatakan bahwa dalam pembangunan Kota atau daerah dipengaruhi sistem ekonomi kapitalis atau demokratis. Dalam konteks tersebut maka pada prakteknya perencanaan tidak dapat dipisahkan dengan suasana politik kota atau daerah sebab keputusan-keputusan publik mempengaruhi kepentingankepentingan
lokal. Hal ini menjadi relevan apabila kekuasaan mempengaruhi perencanaan. Ketika perencanaan telah dipengaruhi oleh sistem politik suatu kota atau daerah sebagaiman pernyataan di atas, maka sebenarnya yang terjadi adalah wilayah rasional yang menjadi dasar dalam perencanaan telah kehilangan independensinya. Selanjutnya perencanaan akan menjadi tidak efektif dan efesien, bersifat mendua antara idealisme “kepakaran seorang perencana” atau mengikuti selera atau kemauan-kemauan, sehingga berimplikasi pada kualitas perencanaan dalam pencapaian goal (tujuan) dan objektif (sasaran) yang dituju.
Disamping itu karena perencanaan merupakan pekerjaan yang menyangkut wilayah publik maka komitmen seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat sangat dibutuhkan sehingga hasil perencanaan dapat dibuktikan dan dirasakan manfaatnya.

PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengenai dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi.
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periode yakni :
Dokumen perencanaan periode 1958-1967
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.

Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.

Dokumen perencanaan periode 1998-2000
Pada periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.

Dokumen perencanaan periode 2000-2004
Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).

Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Diujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.
Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.
Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.
Tapi pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini tidak hanya bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara model dan mekanisme perumusannya sama saja halnya dengan program jangka panjang yang terkenal dengan motto menuju Indonesia tinggal landas, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan berbagai periode dan APBN sebagai program satu tahunnya semasa pemerintahan Orde Baru ?
Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses penjaringan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang dibuat, masih dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas formalitas belaka ? mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama dalam konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan nasional maupun daerah ini kedepan.

Perencanaan Pembangunan Nasional menurut Teori Tradisional
Pemerintah memiliki wadah yang sangat luas dalam pembangunan. Dengan adanya keterbukaan dalam proses penyelenggaraana negara maka pemerintah mendorong masyarakat untuk berpartisifasi aktif dalam pemerintahan atau dalam pelaksanaan pembangunan, mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol sosial terhadap setiap kebijaksanaan pemerintah, sehingga akan terhindar terjadinya KKN dalam pemerintahan.
Dengan keterbukaan berarti pemerintah atau penyelenggara negara sanggup bertanggungjawab terhadap kegiatan yang dilakukan kepada rakyat. Tanggungjawab ini menyangkut masalah proses pengerjaan, pembiayaan dari segi manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan negara, maka terjalin hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan nasional.
Menurut Growth (1960) teori pertumbuhan ekonomi dapat dikemukakan menjadi beberapa tahap yaitu :
Tahap Masyarakat Tradisional
Masyarakat menciptakan produksi yang amat rendah sehingga pendapatan per kapita yang kurang pemerataan, di bidang pertanian sumber tenaga mesin sangat kurang maka masyarakat atau pemerintah bahan memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan budaya berbagai komunitas menginvestasikan ke dalam kehidupan bangsa, menciptakan kemampuan menjalankan bangsa.

Tahap Masyarakat Dewasa
Tahap masyarakat dewasa dalam arti masyarakat yang mampu memilih dan memberi respon terhadap perubahan dan mampu mengendalikan masa depannya sehingga tidak bergantung kepada pihak lain.

Pengertian Pembangunan
Pembangunan adalah suatua proses kegiatan masyarakat atas prakata sendiri atau pemerintah dalam memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan budaya berbagai komunitas, mengintrogasikan berbagai komunitas ke dalam kehidupan bangsa, menciptakan kemampuan memajukan bangsa secara terpadu.
Pembangunan daerah adalah proses kegiatan, masyarakat daerah dalam memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan budaya yang bertempat tinggal di suatu daerah tertentu.

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN
Seiring dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Semangat seperti itulah yang saat ini terus bergulir ditengah-tengah masyarakat, meskipun dalam prakteknya belum sebagaimana yang diharapkan banyak pihak. Barangkali itulah proses yang harus dilalui secara bertahap dan berkesinambungan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Kalau merujuk pada UU No 22 Tahun 1999,  yang dimaksud otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa otonomi daerah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk bagaimana suatu daerah melakukan perencanaan pembangunan di daerahnya masing-masing.

Perencanaan Pembangunan Partisipatif
Salah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan yang kini sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif. Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sejak tahun 2001 telah mencoba melakukan perencanaan pembangunan partisipatif didalam kerangka menggali aspirasi yang berkembang di masyarakat melalui musyawarah tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan dan kota. Sebuah langkah positif yang patut dikembangkan lebih lanjut, apalagi hal seperti itu masih dalam taraf pembelajaran yang tentu saja disana-sini masih terdapat kelemahan baik dalam tataran konsep maupun implementasinya di masyarakat.
Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach). Nampaknya mudah dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah implementasinya karena banyak factor yang perlu dipertimbangkan, termasuk bagaimana sosialisasi konsep itu di tengah-tengah masyarakat.
Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan semua unsur / komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, golongan, agama, status sosial, pendidikan, tersebut paling tidak merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan dikembangkan secara berkesinambungan baik dalam tataran wacana pemikiran maupun dalam tataran implementasinya di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus, pendekatan baru dalam perencanaan pembangunan ini yang membedakan dengan pola-pola pendekatan perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik.
Nah, dengan era otonomi daerah yang tengah dikembangkan di tengah-tengah masyarakat dengan asas desentralisasi ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang luas menjadi semakin baik dan meningkat. Lagipula, pola pendekatan perencanaan pembangunan ini sekaligus menjadi wahana pembelajaran demokrasi yang sangat baik bagi masyarakat. Hal ini tercermin bagaimana masyarakat secara menyeluruh mampu melakukan proses demokratisasi yang baik melalui forum-forum musyawarah yang melibatkan semua unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota.

Penggerak Pembangunan
Dalam pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif yang sedang dikembangkan ini pada dasarnya yang menjadi ujung tombak dan sekaligus garda terdepan bagi berhasilnya pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif tiada lain adalah sejauhmana keterlibatan warga termasuk pengurus RT dan RW dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program pembangunan yang ada di lingkup RT dan RW tersebut.
Lembaga organisasi RT dan RW sebagai sebuah lembaga masyarakat yang bersifat “pengabdian” yang dikelola oleh pengurus  RT dan RW ini benar-benar patut diacungi jempol karena pengabdian, ketulusan dan keikhlasan yang dilakukan bagi kepentingan masyarakat semata-mata dan jauh dari berbagai kepentingan pribadi. Barangkali pada level-level seperti inilah pembelajaran demokratisasi warga diimplementasikan bagi kepentingan warga masyarakat sekitarnya. Warga masyarakat yang mengajukan usulan program kegiatan, warga masyarakat pulalah yang melakukan dan sekaligus melakukan pengawasannya. Kesederhanaan, kebersamaan, dan kejujuran diantara warga yang sangat majemuk barangkali menjadi kata kunci perekat diantara mereka.
Bukanlah rahasia lagi bahwa yang namanya pengurus RT dan RW ini sudah biasa kalau harus berkorban tenaga, pikiran, dan dana ketika melakukan berbagai program kegiatan yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an, apalagi kalau menyambut adanya event-event tertentu. Bahkan tidak jarang mereka harus berhadapan langsung dengan berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan, seperti masalah keributan / perkelahian antar warga, keamanan warga, dan sebagainya yang kadangkala jiwa menjadi taruhannya. Mudah-mudahan jiwa dan semangat pengabdian mereka tetap terjaga dengan baik.

Harapan dan Tantangan
Nuansa demokratis benar-benar nampak diberbagai forum musyawarah tingkat RT dan RW. Kesadaran dan kebersamaan yang tumbuh dan berkembang dengan baik pada organisasi paling bawah ini paling tidak merupakan modal dasar yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat di daerah pada umumnya. Tetapi, kondisi yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an sekaligus bisa menjadi kendala atau ganjalan manakala aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat level bawah ini terabaikan begitu saja. Jangan sampai “manis di mulut tetapi sepi dalam realitas”. Apabila hal ini terjadi, maka pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif hanya tinggal sebagai sebuah slogan yang manis dibicarakan, namun pahit dalam tataran pelaksanaannya.
Sebagai sebuah gambaran sederhana, misalnya ketika akan diselenggarakan Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) maka setiap RT dan RW harus mempersiapkan usulan-usulan program yang akan dilakukan untuk suatu periode tertentu baik berupa usulan kegiatan yang bersifat phisik maupun nonphisik. Usulan program yang diajukan oleh RT dan RW tersebut selanjutnya dibawa ke level kelurahan untuk dibahas lebih lanjut ke forum Muskelbang. Forum inilah diharapkan menjadi ajang pembelajaran demokratisasi para warga di level kelurahan.
Nah, sebelum sampai pada forum Muskelbang, sesuai dengan SK Walikota Surakarta Nomor: 410/45-A/1/2002 tentang pedoman teknis penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta tahun 2002, disebutkan bahwa sebelum dilaksanakan Muskelbang terlebih dahulu dilakukan Pra-Muskelbang I dan II.
Secara garis besar, pada dasarnya apa yang dilakukan dalam kegiatan Pra-Muskelbang I dan II merupakan tahapan-tahapan persiapan yang perlu dilakukan agar Muskelbang yang akan diselenggarakan berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuannya. Selanjutnya, apa yang telah dihasilkan dalam forum Muskelbang ini akan dibahas ke forum musyawarah tingkat Kecamatan (Muscambang) dan selanjutnya ke forum musyawarah Kota (Muskotbang).
Musyawarah yang dilakukan mulai level Kelurahan, Kecamatan, dan Kota tiada lain dimaksudkan untuk menjaring semua aspirasi yang berkembang dari berbagai komponen masyarakat yang ada tanpa terkecuali untuk ikut serta merencanakan, melaksanakan, dan melakukan pengawasan program pembangunan daerahnya masing-masing. Apa yang dimusyawarahkan pada forum-forum tersebut bukan saja usulan program kegiatan yang bersifat program fisik tetapi juga yang bersifat non-fisik, termasuk didalamnya sejumlah indicator keberhasilan dan besaran dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Pertanyaan yang sering muncul dari warga masyarakat lapisan bawah ini adalah apakah program kegiatan yang diusulkan yang bersumber dari musyawarah di tingkat RT dan RW tersebut nantinya akan terealisir? Pertanyaan polos dan lugas yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam warga masyarakat tersebut tentunya wajar dan sah-sah saja. Oleh karena, umumnya mereka sangat berharap bahwa apa yang diusulkan tersebut dapat terealisir, sehingga akan mampu memperbaiki kondisi lingkungan masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, di sisi yang lain pemerintah kota memiliki kendala klasik yaitu keterbatasan anggaran bagi pembangunan daerah. Bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2002 porsi dana yang disediakan untuk pembangunan sangatlah minim. Disamping itu, masyarakat sendiri juga tidak pernah tahu seberapa besar pemerintah kota (pemkot) mampu menghasilkan penerimaan (pendapatan) bagi APBDnya dan akan dialokasikan pada kegiatan apa. Ini berarti bahwa sosialisasi memiliki arti yang sangat penting bagi warga masyarakat.
Mengingat berbagai keterbatasan yang ada (sumber dana), maka pemerintah biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala Prioritas (DSP). Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan melaksanakan atau membiayai program kegiatan yang memang menjadi skala prioritas utama pembangunan di daerah. Nah, bagaimana dengan program kegiatan yang memiliki bobot prioritas nomor-nomor berikutnya? Pertanyaan ini pernah muncul dalam suatu forum pelatihan fasilitator di sebuah hotel di Solo beberapa waktu yang lalu sebagai sebuah respon dari instruktur yang mewakili pemerintah kota (pemkot).
Kalau yang diterima dan dibiayai APBD hanya usulan kegiatan yang memperoleh prioritas utama, sementara prioritas nomor berikutnya tersisihkan dan harus diusulkan lagi untuk periode berikutnya, maka hal ini memberikan dampak yang kurang baik bagi para pengusul program kegiatan yang sudah bersusah dan berpayah-payah menyusun usulan program tersebut. Pertama: penentuan pola DSP seperti itu tidak efisien, karena pengusul (RT dan RW) harus mengusulkan lagi untuk tahun berikutnya. Kedua, salah satu dampak yang sangat tidak diharapkan adalah munculnya sikap para pengusul yang lebih cenderung asal-asalan dalam mengajukan usulan kegiatan, karena merasa toh pada akhirnya usulannya nanti tidak terealisir juga. Sikap seperti ini bisa saja muncul sebagai sebuah akumulasi kekecewaan yang lama. Ketiga, sikap lainnya yang barangkali perlu diantisipasi adalah munculnya sikap masa bodoh, cuek atau tidak mau tahu terhadap pembangunan masyarakat di lingkungannya.
Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan di suatu daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali dapat membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan menempatkan skala prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi (jenjang waktu), katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau periodisasi ini bisa dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki motivasi yang tinggi karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan tetap dapat dilaksanakan, meskipun tidak periode sekarang (misalnya). Disisi lain, masyarakat akan memiliki apresiasi yang baik dan positif terhadap pemerintah bahwa ternyata pemerintah benar-benar memiliki komitmen yang tinggi terhadap masyarakat pada umumnya. Ini merupakan modal dasar pembangunan yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat kedepan, tumbuhnya kepercayaan terhadap pemerintahannya sendiri (pemkot).

Sumber :
http://empimuslion.wordpress.com/2008/04/01/paradigma-perencanaan-pembangunan-nasional/
http://dipisolo.tripod.com/content/artikel/partisipatif.htm
http://irmabsalia.blogspot.com/2010/03/teori-perencanaan-pembangunan.html
http://unsilster.com/2010/03/perencanaan-pembangunan-nasional-menurut-teori-tradisional/